Yogyakarta— |Gerakan Mahasiswa Lembata Yogyakarta (GMLJ) kembali menyoroti kebijakan dan pernyataan Bupati Lembata Petrus Kanisius Tuaq terkait pencopotan Kepala Puskesmas Loang, Fransiska Lestyani Toja. Sebelumnya, GMLJ telah meminta Ombudsman RI Perwakilan NTT untuk memeriksa Bupati Lembata dan mencabut Surat Keputusan (SK) Bupati Lembata Nomor 562 Tahun 2025 tentang pendisiplinan terhadap Fransiska Lestyani Toja.
Menanggapi desakan itu, Bupati Lembata Petrus Kanisius Tuaq menyampaikan bahwa mekanisme mutasi dan pembebastugasan ASN di lingkup Pemkab Lembata dilakukan secara normatif sesuai dengan regulasi kepegawaian.
“Perlu dipahami bahwa Kepala Puskesmas bukan jabatan struktural, melainkan tugas tambahan yang dapat ditarik kembali kapan saja sesuai kebutuhan organisasi,” ujar Bupati Tuaq.
Ia juga menegaskan bahwa langkah tersebut merupakan intervensi administratif yang sah untuk menjaga stabilitas sistem pelayanan publik, bukan bentuk hukuman personal.
“Pembebasan tugas ini bukan sanksi. Status ASN dan hak administratif yang bersangkutan tetap melekat. Keputusan ini diambil demi menjamin pelayanan kesehatan berjalan profesional dan akuntabel,” jelasnya.
Namun, pernyataan tersebut justru mendapat tanggapan keras dari Koordinator GMLJ, Rusman Payong, yang juga Ketua Persatuan Mahasiswa Islam (PMI) Cabang Yogyakarta.
“Pernyataan Bupati Lembata itu tidak pantas diucapkan oleh seorang kepala daerah. Mestinya Bupati menanggapi kritik kami dengan argumentasi yang sesuai regulasi. Kalau pernyataan seperti ini keluar dari seorang Bupati, maka kami nilai Bupati Lembata Petrus Kanisius Tuaq tidak nyambung,” tegas Rusman.
GMLJ menilai, SK Nomor 562 Tahun 2025 tersebut justru bermuatan politis dan bertentangan dengan prinsip administrasi pemerintahan yang baik.
“Kalau alasan Bupati adalah untuk kebutuhan organisasi, lalu mengapa harus ada sanksi penundaan kenaikan gaji selama satu tahun kepada Ibu Fransiska Lestyani Toja? Bukankah beliau adalah kepala puskesmas yang berprestasi?” lanjutnya.
Menurut GMLJ, isi SK tersebut jelas memuat unsur hukuman disiplin, bukan sekadar kebijakan mutasi. Mereka menilai keputusan itu sebagai bentuk maladministrasi yang melanggar peraturan perundang-undangan.
“Kami menyesalkan cara Bupati menjalankan pemerintahan yang masih diwarnai dengan nafsu kekuasaan dan mengangkangi regulasi. SK ini sarat maladministrasi. Karena itu, kami mendorong Ombudsman RI Perwakilan NTT dan Komisi ASN untuk memanggil dan memeriksa Bupati Lembata,” tutup Rusman Payong.
















Respon (1)