DaerahNasionalOpiniPolitik

Sosok Kapus Loang Tegas Sebagai Pimpinan, Dipotong oleh Stafnya Sendiri

199
×

Sosok Kapus Loang Tegas Sebagai Pimpinan, Dipotong oleh Stafnya Sendiri

Sebarkan artikel ini

Oleh: Robyn Wuwur (Aktivis Politik)

Dalam setiap lembaga publik, kepemimpinan yang tegas sering kali menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ketegasan dibutuhkan untuk menegakkan disiplin, memastikan pelayanan berjalan optimal, dan menjaga integritas institusi. Namun di sisi lain, ketegasan yang sama dapat menimbulkan gesekan ketika berhadapan dengan budaya kerja yang belum siap untuk perubahan dan akuntabilitas. Hal inilah yang tampaknya terjadi pada sosok Kepala UPTD Puskesmas Loang, Fransiska Listiyanti Toja, S.Si.

Sebagai pimpinan, Fransiska dikenal oleh masyarakat Nagawutung sebagai figur yang berdedikasi dan memiliki komitmen kuat terhadap peningkatan pelayanan kesehatan. Di bawah kepemimpinannya, Puskesmas Loang menunjukkan banyak kemajuan, mulai dari peningkatan mutu layanan hingga berbagai capaian di tingkat kabupaten dan provinsi. Namun ironisnya, justru ketegasan dan komitmen itulah yang menjadi alasan munculnya resistensi dari sebagian stafnya sendiri.

Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem birokrasi jika kepemimpinan yang tegas dianggap ancaman, bukan kekuatan. Ketika pemimpin menegakkan aturan dan menuntut profesionalitas, sebagian yang merasa “terancam” kenyamanannya akan berupaya menggoyang fondasi kepemimpinan itu — bahkan dengan cara yang tidak sehat.

Jika benar pemberhentian sementara Kapus Loang terjadi akibat tekanan internal dari staf, maka hal ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan tanda lemahnya tata kelola manajerial di lingkungan kerja ASN. Pimpinan seharusnya dilindungi oleh sistem, bukan dijatuhkan oleh intrik. ASN bekerja bukan untuk kepentingan kelompok, melainkan untuk pelayanan publik yang bermartabat.

Kasus ini seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah daerah. Jangan sampai ketegasan dan prestasi justru “dipotong” oleh kepentingan pribadi yang diselimuti oleh kedok solidaritas internal. Jika hal ini dibiarkan, maka pesan yang tersampaikan kepada publik adalah: “Jangan jadi pemimpin yang tegas, karena sistem akan melawanmu.”

Padahal, daerah seperti Lembata justru membutuhkan lebih banyak pemimpin yang berani — berani menegur, berani memperbaiki, dan berani melawan zona nyaman. Masyarakat Nagawutung telah merasakan dampak nyata dari kerja keras Kapus Fransiska, dan suara mereka adalah bukti bahwa kepemimpinan yang tegas dan berintegritas masih dirindukan.

Kini, bola ada di tangan pemerintah daerah. Apakah mereka akan berpihak pada sistem yang sehat dan berkeadilan, atau tunduk pada tekanan kelompok kecil yang ingin mempertahankan status quo?

Ketegasan tidak boleh dipotong. Karena ketika pemimpin yang baik dijatuhkan oleh bawahannya, sesungguhnya yang dikorbankan bukan hanya satu orang — melainkan kepercayaan publik terhadap keadilan dan profesionalitas birokrasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *