Blog

G30S/PKI: Darah, Duka, dan Peralihan Kekuasaan”

308
×

G30S/PKI: Darah, Duka, dan Peralihan Kekuasaan”

Sebarkan artikel ini

Oleh: Bedos Making Redaksi Harianwarga

Sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari catatan kelam peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang kemudian dikenal dengan nama G30S/PKI. Malam yang mencekam itu menjadi titik balik perjalanan bangsa, ketika enam jenderal dan satu perwira TNI AD gugur secara tragis di Lubang Buaya. Peristiwa tersebut menorehkan luka mendalam, menciptakan trauma kolektif, sekaligus membuka jalan perubahan besar dalam arah politik Indonesia.

Presiden Soekarno kala itu berada dalam pusaran krisis politik, ekonomi, dan keamanan. Sebagai pemimpin besar revolusi, Bung Karno berusaha menjaga keseimbangan antara kekuatan Angkatan Bersenjata, Partai Komunis Indonesia (PKI), serta kekuatan politik nasionalis dan agama. Namun, tragedi G30S menghancurkan keseimbangan itu. Tuduhan bahwa PKI berada di balik gerakan tersebut membuat gelombang anti-PKI meluas, sekaligus melemahkan posisi Soekarno yang dianggap terlalu dekat dengan partai itu.

 

Pasca peristiwa, muncul Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi momentum penting. Dengan surat itu, Soekarno menyerahkan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Dari sinilah langkah-langkah politik Soeharto menguat: membubarkan PKI, menangkap orang-orang dekat Soekarno, serta mengambil alih kendali pemerintahan secara bertahap.

Pada Sidang Umum MPRS tahun 1967, Bung Karno resmi dicabut dari jabatannya sebagai Presiden. Mandat kepemimpinan dialihkan kepada Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden, dan pada 1968 ia diangkat penuh menjadi Presiden Republik Indonesia. Berakhirlah era Soekarno, Sang Proklamator, dalam panggung kekuasaan, meski jasa dan karismanya tak pernah pudar dalam hati rakyat.

 

Memori kelam G30S/PKI dan lengsernya Bung Karno adalah pengingat pahit bahwa politik yang berporos pada konflik ideologi bisa merobek persatuan bangsa. Ia mengajarkan bahwa sejarah tidak boleh hanya dikenang dengan luka, tetapi juga dipelajari sebagai pelajaran berharga agar generasi penerus mampu menjaga demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan.

G30S/PKI Dan TERBUNUHNYA ENAM JENDERAL

Tanggal 30 September 1965 menjadi salah satu babak paling kelam dalam sejarah Indonesia. Malam itu, sekelompok pasukan yang menamakan diri Gerakan 30 September (G30S) bergerak menculik para perwira tinggi Angkatan Darat dari rumah mereka masing-masing.

 

Target mereka adalah pimpinan-pimpinan Angkatan Darat yang dianggap menghalangi jalan politik PKI dan rencana perubahan kekuasaan. Para jenderal yang diculik kemudian dibawa ke sebuah lokasi di Lubang Buaya, Jakarta Timur, dan di sana mereka disiksa serta dibunuh dengan kejam.

 

Enam perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang menjadi korban dalam tragedi ini ialah:

Pertama: Letnan Jenderal Ahmad Yani – Menteri/Panglima Angkatan Darat

Kedua: Mayor Jenderal R. Soeprapto – Deputi II Men/Pangad

Ketiga: Mayor Jenderal M.T. Haryono – Deputi III Men/Pangad

Keempat: Mayor Jenderal S. Parman – Asisten I Men/Pangad

Kelima: Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan – Asisten IV Men/Pangad

Keenam: Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo – Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal

Selain keenam jenderal tersebut, satu korban lainnya adalah Lettu Pierre Andreas Tendean, ajudan pribadi Jenderal A. Yani, yang ikut terbunuh karena disangka sang jenderal.

Jenazah mereka baru ditemukan pada 3 Oktober 1965 di sebuah sumur tua di Lubang Buaya. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan “Tragedi Lubang Buaya”.

Tragedi ini mengguncang bangsa. Gelombang kemarahan rakyat membesar, PKI dituding sebagai dalang, dan posisi politik Presiden Soekarno goyah. Dari sinilah lahir perubahan besar: munculnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966, pembubaran PKI, dan pada akhirnya peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.

Peristiwa terbunuhnya enam jenderal menjadi simbol pengorbanan dalam menjaga keutuhan bangsa, sekaligus menjadi pengingat betapa rapuhnya stabilitas politik Indonesia kala itu.

 

Pelajaran Sejarah

Peristiwa G30S/PKI adalah pengingat bahwa konflik ideologi dan perebutan kekuasaan dapat menghancurkan persatuan bangsa. Sejarah kelam ini harus dikenang bukan untuk menumbuhkan kebencian, melainkan sebagai pelajaran bagi generasi penerus agar selalu mengedepankan persatuan, demokrasi, dan kemanusiaan di atas kepentingan politik sesaat.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *