BeritaDaerah

Deklarasi Frontal di Hari HAM, Tolak Geothermal dan Dukung Perlawanan Masyarakat

12
×

Deklarasi Frontal di Hari HAM, Tolak Geothermal dan Dukung Perlawanan Masyarakat

Sebarkan artikel ini
Front Masyarakat Lembata untuk Keadilan (FRONTAL) mendeklarasikan diri. Foto: Harianwarga/van.
Front Masyarakat Lembata untuk Keadilan (FRONTAL) mendeklarasikan diri. Foto: Harianwarga/van.

HARIANWARGA.ID, LEMBATA – Front Masyarakat Lembata untuk Keadilan (FRONTAL) mendeklarasikan diri sebagai wadah perjuangan menolak panas bumi (geothermal) di Lembata. Deklarasi tersebut dilakukan dalam kegiatan bertajuk “Voice for Human Rights” yang bertepatan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia di Aula Paroki Kristus Raja Wangatoa, Lewoleba, Kabupaten Lembata, Rabu (10/12/2025).

Kegiatan yang dipandu oleh aktivis dan jurnalis senior Lembata, Elias Keluli Making alias Yogi Making, itu diisi dengan penampilan musik dari Van Axel dan J-Late Band, serta monolog, puisi, orasi, dan pantomim dari Komunitas Tuli Lembata.

Dalam prolog pembuka acara, Rifai, Ketua Forum Pinggir Jalan (FPJ), menegaskan soal akar penolakan masyarakat. “Di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, rencana eksplorasi geothermal di Kecamatan Atadei telah memicu penolakan tegas dari masyarakat. Penolakan ini merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak asasi mereka yang terancam, mencakup Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob), Hak Masyarakat Adat, Hak Sipil dan Politik (Sipol), serta Hak atas Lingkungan Hidup yang Sehat,” tegasnya.

Oleh karena itu, memperingati Hari HAM Sedunia dengan mengangkat kasus geothermal Atadei disebutnya sebagai upaya mengingatkan semua pihak bahwa transisi energi harus berkeadilan. Menurutnya, tidak ada energi yang benar-benar “hijau” jika proses perolehannya dinodai pelanggaran HAM.

Baca Juga: PELNI Resmi Pindahkan Kantor Cabang Ke Lembata, PELNI Larantuka Turun Kelas Jadi Unit

Sementara itu, Koordinator Divisi Pengkajian dan Data FRONTAL, Andreas Ledjab, mengungkapkan dugaan pelanggaran hak warga sejak 2002 di Atakore, Kampung Watuwawer, Kecamatan Atadei. “Jika kita melihat konteks Atadei, Lembata, kelamaholotan, di situ, banyak hidup, kelompok-kelompok warga kita seharusnya dari dulu harus ada Perda pengakuan akan keberadaan masyarakat adat setempat,” ujar Andreas, lulusan pertambangan spesifikasi peledakan dari salah satu universitas di Jawa Timur.

Ia menegaskan bahwa di lokasi tersebut terdapat ritus tahunan “ploe kwar” yang diwariskan nenek moyang dan berkaitan dengan ritus “tun kwar”, serta adanya masyarakat adat Ahar Tu. “Bagaimana mungkin mereka (korporasi) mendapatkan tempat (untuk eksploitasi geothermal) yang dikeramatkan. Itu ulah oknum-oknum busuk yang ada di korporasi maupun di pemerintahan kita,” tegas Andreas.

Andreas mengatakan sejak kedatangan korporasi tahun 2002, tidak ada keterbukaan informasi soal dampak geothermal. “Tidak ada keterbukaan informasi yang jujur kepada warga, sehingga mereka berhasil mendapatkan lahan-lahan warga. Atakore, menjadi saksi kebusukan oligarki bercengkram,” ungkapnya.

Lebih jauh, ia menyoroti kondisi geologi dan proses sosialisasi yang dianggapnya bermasalah. “Sosialisasi, seminar, yang diundang itu hanya pemilik lahan. Padahal, kalau kita ikuti pemberitaan bagaimana pernyataan Penjabat Bupati Lembata saat itu, Paskalis Tapobali menekankan kepada pihak korporasi untuk menyampaikan sosialisasi secara terbuka, jujur, apa adanya untuk warga Lembata atau secara khususnya warga Atadei, tetap itu hanya omon-omon saja,” ungkap Andreas Ledjab.

Baca Juga: Tiga Personil LBH SIKAP Lembata dinyatakan Lulus Ujian Advokat oleh DPP KAI

Untuk diketahui? Kegiatan “Voice for Human Rights” berlangsung dari pukul 19.30 hingga 23.00 WITA. Acara ini diselenggarakan oleh FRONTAL, Ukut Tawa, Forum Pinggir Jalan (FPJ), dan Komunitas Muro Lembata. Peserta yang hadir sekitar 70 orang baik dari komunitas, NGO dan individu.***

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *