Lembata -Nusa Tenggara Timur. Festival Lamaholot sejatinya menjadi ruang perayaan budaya tiga wilayah bersaudara — Lembata, Flores Timur, dan Alor. Sebuah momentum yang diharapkan mampu menegaskan identitas, sekaligus memperkenalkan kekayaan tradisi Lamaholot kepada dunia luar. Namun, di tengah semarak panggung dan keramaian lokal, satu pertanyaan mencuat: mengapa wisatawan luar tak banyak hadir?
Minimnya Daya Tarik di Luar Seremoni:
Selama ini, festival sering kali berfokus pada agenda seremoni — tarian pembukaan, sambutan pejabat, dan parade budaya. Sementara wisatawan modern mencari pengalaman langsung yang membuat mereka merasa menjadi bagian dari kebudayaan itu sendiri.
“Orang datang bukan hanya untuk menonton, tapi untuk merasakan“.
Pantauan tim media Harian Warga (07/10/2025). Festival masih perlu ruang interaktif: workshop tenun, pelatihan tari tradisional, kuliner khas, hingga kunjungan ke rumah adat. “Kalau wisatawan bisa ikut menenun atau makan bersama warga, itu pengalaman yang tak akan mereka lupakan“.
Promosi yang Belum Menembus Dunia Luar: Masalah lain adalah promosi yang minim dan tidak konsisten. Poster dan publikasi festival lebih banyak beredar di kalangan lokal, tanpa dukungan narasi yang kuat untuk menarik wisatawan luar daerah.
Padahal, branding “Lamaholot” punya kekuatan unik: bahasa, adat, dan simbol persaudaraan lintas pulau.
Tanpa strategi komunikasi yang matang, festival sulit bersaing dengan event lain seperti Festival Komodo, Semana Santa Larantuka, atau Festival Danau Kelimutu yang lebih dikenal publik nasional.
Akses dan Fasilitas Masih Terbatas:
Bagi wisatawan luar, perjalanan menuju Lembata atau wilayah Lamaholot lainnya bukan hal mudah.
Transportasi udara terbatas, penginapan belum banyak, dan fasilitas umum kadang tidak memadai.
Jika tidak dibarengi dengan perencanaan logistik yang baik, festival bisa tampak “jauh” — bukan hanya secara geografis, tapi juga secara pengalaman.
Perlu Kolaborasi Antardaerah:
Semangat “Tite Kaka no Aré” — satu darah satu akar — mestinya menjadi roh dari festival ini. Namun dalam praktiknya, sinergi antara tiga wilayah Lamaholot kadang berjalan setengah hati.
“Kalau Lembata, Flores Timur, dan Alor benar-benar bersatu, festival ini bisa jadi event budaya terbesar di Nusa Tenggara Timur,” kata seorang pegiat alam yang juga anggota Forum pinggir jalan, Noldy.
Kolaborasi lintas kabupaten akan memperkuat daya tarik sekaligus memperluas jejaring wisata dan pelaku seni.
Saatnya Inovasi dan Regenerasi
Festival Lamaholot perlu memberi ruang bagi seniman muda, komunitas kreatif, dan pelaku industri digital untuk ikut terlibat.
Karya kontemporer, musik etnik modern, hingga content creator lokal bisa menjadi jembatan antara budaya tradisi dan generasi masa kini.
Dengan demikian, Lamaholot tak hanya dikenang sebagai budaya lama, tetapi juga identitas yang hidup dan relevan.
Menjadikan Lamaholot sebagai Cerita Dunia: Budaya Lamaholot memiliki narasi yang kuat — tentang persaudaraan, laut, tanah, dan bahasa.
Yang dibutuhkan kini adalah kemampuan mengubah warisan itu menjadi pengalaman universal.
Sebab wisatawan datang bukan karena ingin melihat perbedaan, tapi karena ingin menemukan makna dari perbedaan itu.
Festival Lamaholot bukan sekadar tontonan, melainkan cermin jati diri. Jika mampu dikelola dengan visi dan strategi, bukan tidak mungkin ia akan menjadi magnet wisata budaya kelas dunia.
Respon (2)